Thursday, March 24, 2011

Saat Yang Sepoy

Siang yang sepoy
Walau terasa amat kelabu karena langit yang terselimuti awan mendung
Hujan bercurah bebas tercundangi dengan angin yang berkelibat hebat
Bunyi hempasan angin beserta curahan hujan memenuhi ruang lepas
Tak ada kupu manis yang bertengger ceria diatas warna kelopak bunga
Tak ada burung yang hendak mengepakkan sayapnya bebas lintasi langit
Hijau daun hanya terus bergolek mengayun terlantun hempasan angin
Semua bagai sendu dalam sepoy
Tak hendak beranjak dari teduhnya angin siang yang sejuk
Secangkir kopi hangat ikut mengisi teduhnya siang yang dingin
Mata tak hendak melihat apapun selain terkulum dalam kelopak
Pikiran tak hendak terpadati dengan perintah yang tak putusnya
Hanya imajinasilah yang menggunakan haknya untuk tampil bebas
Merambah ke berbagai ruang visualisasi untuk wujudkan wajah karya
Tak hendak terhempas pula oleh gangguan sekitar yang hiruk pikuk
Suatu suasana siang yang sepoy penghantar imajinasi untuk berkarya
-LS-

Tuesday, March 22, 2011

Saat Akhir Yang Indah

Suatu rasa keberanian menghadapi perubahan adalah pengalaman yang menentukan dalam suatu masa kehidupan. Menggawangi rasa siap atas rasa kehilangan orang yang paling kukasihi dalam hidupku adalah tak sekejap dapat kufahami. Jauh sebelum ayahandaku wafat, aku bertanya-tanya dalam benak apa rasanya bila kelak aku harus hadapi kenyataan bila sahabatku terkasih harus pergi menghadap Tuhan. Tak ada jawaban apapun dan alam bagai tak bergeming dengan deru pertanyaan itu. Hingga pada suatu masa aku perlahan mendapatkan tanda-tanda akan perjalanan ayahandaku kemudian yang berpamit akan pergi meninggalkan kami semua secara ragawi selamanya. Aku terhenyak dalam pelukan nuraniku sendiri. Aku terpukau dengan kekuatan ikatan batin kami. Aku terpana dengan nyatanya tanda itu sebelum sahabatku berpulang menghadapNya. Aku tak berdaya untuk menahannya agar tak dahulu pergi dalam pusaran Hak Illahi. Karena aku hanyalah pula manusia biasa yang akan pula menerima giliran waktu dalam pusaran Hak Nya. Tak ada hal lain yang dapat kujalani selain segera menata batinku untuk siap dan ikhlas dengan cara yang Tuhan telah tentukan. Ku dudukkan ragaku dan ku hadapkan jiwaku pada Tuhan ditengah malam yang hening bagai tanpa perantara apapun kecuali dimensi rasa kedekatan terhadap Nya untuk bermunajat secara bebas namun mendalam.

Ayahku melemah dan makin melemah karena menurunnya kadar gula darah pada tubuhnya. Aku perhatikan dengan seksama status medis pada monitor dengan sesekali bunyi alat yang setia mendampinginya sepanjang berbaring lemah. Aku berjaga dan mendampinginya dalam waktu dan kesempatan yang kupunya. Aku bicara langsung ke arah telinganya. Aku sampaikan rasa asihku melalui tangan dan jari-jariku yang bagai menyalurkan energi rasa kasih dan sayangku padanya secara tulus. Semua itu terdorong atas persahabatan kami yang tak terbandingkan dengan apapun. Begitu kuatnya keterikatan batin kami sebagai makhluk Tuhan yang saling bertaut dalam persahabatan tanpa terkondisi apapun. Aku sadari bahwa masa baginya akan segera masuki ranah dunia lain. Aku mengiringi masa lemahnya dengan lantunan doa yang kuketahui dapat terus mengisi jiwa ayahku yang kian melemah. Tak kubiarkan ia sendirian dalam ruang kesendiriannya saat berbaring. Kugenggam erat jemarinya juga telapak kakinya. Ayahku memberi reaksi dengan lengan yang bergerak bagai bergetar lembut. Tak putusnya kubelaikan tanganku pada dada, tangan dan kakinya. Kucurahkan segala perhatian dan tenaga yang kupunya untuk mendampingi masa lemah itu.

Dalam munajatku di banyak tengah malam, aku sampaikan dan bermohon pada Tuhan agar aku diizinkan olehNya untuk dapat berbagi sebagian kekuatan ragaku agar ayahku tak mengalami kepayahan atas beban lemahnya fisik selama berbaring. Kurasakan tak butuh waktu lama sejak ku bermunajat hal itu, ayahku menunjukkan status medis yang berubah membaik walau masih tergolong lemah dan tidak stabil namun beliau sadar dan dapat bicara dan mengenali sekelilingnya lagi. Namun terasa cukup aneh karena aku pun bagai merasakan dampaknya dimana ragaku bagai terasa lemah tak bertenaga. Mungkinkah Tuhan memang mengizinkan sebagian kekuatan ragaku menyusupi ruang raga dan jiwa sahabatku terkasih,...ayahku sendiri? Ragaku bagai gontai lemah tanpa adanya rasa kantuk sedikitpun. Aku gunakan kesempatan emas ini untuk berdialog, mendampingi dan membimbingnya menjelang beralihnya kehidupan beliau memasuki dunia lain yang akupun belum pernah mengetahuinya kecuali keyakinan ku akan kekuasaan Tuhan. Bahwa segalanya akan tetap menjadi Hak Nya saat di dunia apalagi kehidupan akhirati. Tidak ada siapapun disekitar kami kecuali aku dan ayahku terkasih. Kubisikkan lembut di telinga kirinya untuk memohon ampunanNya sembari kusematkan tasbih kayu Kokka di jari tangannya lalu berpindah ke telinga kanan untuk bersyukur atas segala Karunia Besar yang telah kami semua terima sebagai Nikmat duniawi yang fana, sebagai jembatan kami untuk beriman lebih dan lebih baik kepadaNya hingga hayat berpangku kembali padaNya. Ayahku dengan tanpa kesulitan berarti mau mengikuti jejak suaraku dan melajukan hitungan tasbihnya dengan layak. Aku terharu mendalam dan tak kuasa menata batin namun mampu menahan gejolak reaksi emosi jiwaku. Aku bagai tak diizinkan oleh ayahku untuk menjauh darinya. Pilu rasanya... Ruang jiwaku bagai menyempit untuk dapat memeluk erat ragawi ayahku dan merengkuh jiwanya dengan kehangatan hati. Karena tanggung jawab lainku yang terus harus berjalan maka aku pun harus sejenak beranjak dari sisi ayahandaku terkasih. Kemudian ku kembali untuk terus melantunkan surat dalam Al-Qur'an dengan tujuan ketenangan bagi ayahku juga kami semua. Ragaku masih lemah bahkan lemas tanpa sebab hingga menjelang kepergiannya pada Kamis malam saat adzan berkumandang, ragaku bagai terasuki zat kekuatan dan aku tak lagi merasa lemah. Entah bagaimana aku bisa menjelaskan apa yang kurasakan dan kualami namun hal itu nyata adanya. Hingga nafas terakhirnya terhembuskan, aku sudah tak lagi mengalami gejolak batin dan aku telah benar-benar ikhlas melepas kepergiannya. Kami semua disekelilingnya menghantarkan pelepasannya dengan yang kami mampu dan sanggup. Selamat Jalan Sahabatku Terkasih...Semoga kau teduh terdampingi para Malaikat dan bersamaNya. Ku betikkan kesempatan untuk merundukkan kepala dan hatiku bertumpu pada kedua kaki ayahku yang terbujur lurus sesaat setelah wafatnya.

Suatu prosesi komunikasi ku terakhir padanya 10 menit sebelum kepergiannya adalah suatu hal yang amat menyentuh jiwa dan hatiku bahkan menyejukkan. Aku tuturkan disisi kanan dan kiri ayahku atas Rasa Terima Kasih kami selaku anak-anak atas segala tenaga dan perhatiannya yang telah tercurahkan kepada kami dengan pendampingan terbaiknya selama hayat hidupnya, kemudian kusampaikan Rasa Maaf kami atas segala kesalahan kekhilafan kami selaku anak-anaknya lalu terakhir kusampaikan bahwa aku dan saudara-saudara kandungku akan melanjutkan semangat-semangatnya. Selesai kusampaikan suara hati & jiwaku padanya, ayahku melelehkan air matanya dari kedua sisi matanya dan beranjak dari raga penatnya untuk selama-lamanya 10 menit setelah dialog personal itu. Begitu amat dalam tak terukur kesempatan yang kudapati dengan dan terhadap ayahku. Begitu Indah, Begitu Lembut, Begitu Meluaskan, Begitu Penuh Kedamaian. TERIMA KASIH wahai sahabatku telah dapat merasakan curahan niat dan hatiku disaat terakhirmu. Aku bersyukur mendalam pula atas kesempatan terakhir ini dapat terjadi karena IzinNYA.

Saat di pembaringan tenangnya di kediaman, aku sama sekali tak terasuki rasa kantuk walau ragaku benar-benar butuhkan istirahat layak. Aku terus mendampingi ayahku kala hening tengah malam menyelimuti suasana pembaringan sahabatku terkasih. Aku kadang pandangi raganya yang membujur dan tak lagi dapat saling bercerita dan berseloroh manis. Batinku tetap berkata-kata lazimnya aku bertutur padanya. Ada suatu keindahan disana, suatu keteduhan namun berbeda dalam nuansa dimensi. Hingga akhirnya fajar pagi masuki tepian horizontal lalu sahabatku siap untuk disucikan dengan ketentuan Tuhan. Kami selaku anak-anaknya tak ketinggalan atas kesempatan ini sebagai penghormatan kami terakhir sebelum menghantarkan beliau ke peristirahatan terakhirnya.

Tak lama berselang, ayahku terbalutkan kain putih bersih sebagai busana terakhirnya untuk berteduh dalam pelukan bumi pertiwi sepanjang masa. Saat raganya terkelilingi oleh banyak pelawat, kuhantarkan ayahku dengan ucapan selamat jalan lalu Rasa Terima Kasih kami para anak atas pendampingannya selama ini hingga titik kehidupan & kemandirian kami masing-masing, berlanjut dengan Permohonan Maaf kami selaku anak-anak dan Semoga ayah kami tenang dan teduh dalam perjalanan berikut untuk menghadap Sang Kuasa. Lalu ku tundukkan kepala dan hatiku bertumpu pada pucuk kaki ayahku yang telah rapih dalam balutan putih bersih. Selamat Jalan, Papa...

I Do Love You In Many Dynamic Ways... Keberadaanmu sungguh sangat tak tergantikan dengan apapun.

Segala cerita hidup sebagai ekspresi rasa kasih dan sayangku padanya memang tak terbandingkan dengan apapun namun tentu aku menyadari bahwa aku tidak boleh mengasihi seseorang melebihi rasa kasihku pada Tuhan Yang Maha BerHak atas segala-galanya di dunia. Ayahku berpulang sebagai kewajiban dirinya terhadap Tuhan maka akupun harus menghantarkan beliau dengan sebaik-baiknya, mendukungnya dengan doa-doa yang sanggup ku hantarkan dengan tanpa beban tanpa putus dalam benak sepanjang ufuk masih tampilkan wajahnya. Selamat Jalan Sahabat Ku Terkasih, Ayahku Terkasih... Terima Kasih atas segala tenaga, perhatian dan kasihmu yang telah tercurahkan selama hayatmu. Tak ada yang dapat membayarkan tanggung-jawabmu selain gemingan doa-doa dari kami... I Do Love You, Papa. With My Whole Heart Without A Single Crack. Please Rest In Peace With Our Sincere Prayers. With Lots Of My Sincere Love...Your "Kiddy Girl" yet the phenomenal one...
-LS-